NAYLA
Oleh : Nur Aini Janah
Taman
kota yang
disediakan pemerintah seakan memfasilitasi pemuda-pemudi untuk bermadu kasih. Taman ini selalu ramai disetiap malam minggunya. Dengan
lampu taman yang menerangi setiap sudut dan sisi jalan.
“Sekarang
taman ini terlihat lebih ramai ya?” ucap Dion, seolah ingin mencairkan suasana.
Sudah hampir satu jam mereka duduk
di taman ini. Antara Nayla dan Dion tidak ada yang saling berbicara. Mereka
sibuk dengan pikiran mereka sendiri.
“Kok diam?” Dion kembali
bertanya.
“Apa kau benar-benar akan
pergi? Kenapa? Kau kan tau, aku tak bisa melakukan hubungan jarak jauh.” Nayla
mulai bicara dengan suara parau.
Dion menggenggam tangan
Nayla, lalu menarik Nayla kedalam pelukannya. “Maaf, bisakah kau menungguku
hingga aku kembali? Aku harus pergi, aku berjanji aku akan kembali. Percayalah!”
Baca Selengkapnya....
Baca Selengkapnya....
***
Sudah empat bulan Dion meninggalkan Nayla. Tanpa
kabar, nomor hpnya tak aktif, email yang Nayla kirimkan pun tak pernah
dibalasnya. Dion menghilang tanpa meninggalkan jejak. Ketika mereka berpisah
pun, Dion tak memberitahukan kemana ia akan pergi. Dion hanya berjanji, kalau
ia akan kembali.
Selama empat bulan itu pun, Nayla tak pernah
absent untuk mengujungi taman itu. Taman itu tak pernah berubah, selalu sama. Selalu ramai disetiap malam
minggunya. Bahkan lebih ramai lagi.
“Jadi, setiap malam minggu kamu ke
taman itu untuk nunggu Dion, Nay?” Tanya Anggi heran, suatu hari di kantin
kampus. Anggi sahabat baik Nayla sejak SMA, heran dengan sikap Nayla semenjak
ditinggal Dion. Begitu murung dan selalu menyendiri. “iya.” jawab Nayla
sekenanya. Setelah menghabiskan jus jeruknya, Nayla beranjak dari bangku
kantin, menignggalkan Anggi sendiri. Yang ditinggalkan hanya
menggeleng-gelengkan kepala.
Kembali Nayla mengunjungi taman itu,
dibangku yang sama. Tempat yang selalu mereka duduki setiap mereka berkunjung
ke taman itu. Nayla mengingat kembali alasan kenapa mereka selalu duduk
dibangku ini. “ Dion, kok kita selalu duduk dibangku ini, apa spesialnya?”
tanya Nayla. “Kau lihat itu, dari tempat ini kita dapat melihat jelas bulan dan
bintang yang selalu terang itu.” Dion menunjuk ke langit. Mata Nayla mengikuti
tangan Dion. “Ah kau benar” decak kagum Nayla.
Tak terasa air mata Nayla jatuh
membasahi pipinya, mengingat kejadian itu. Lalu ia melihat ke langit, lalu
berkata lirih “Kau tau Dion, malam ini bulan dan bintang tak terlihat. Langit
terlihat mendung. Apa di tempat kau sekarang, kau dapat melihat bulan dan
bintang yang selalu terang itu?”
***
“Hai, kenalin aku Heri.” Seseorang memperkenalkan dirinya
kepada Nayla. Nayla terlihat kaget. “Eh, maaf aku ngagetin kamu ya?” ucap Heri.
Nayla hanya diam, ia memandangi Heri dari ujung rambut sampai ujung kaki. Heri
dengan kemeja yang
lengannya
digulung sampai siku, dengan celana bahan dan sepatu pantopel. Wajahnya
berbentuk oval, berbadan tinggi, rambut pendek dibelah pinggir. Kalau
dilihat-lihat mirip Evan Sanders. “Hello!” Heri berkata, sambil memetikkan
jarinya di depan wajah Nayla. Membuat
Nayla, sadar dari lamunannya.
“e e e, ma..af. A..a..ku Nay..la!” Nayla berucap dengan terbata-bata, lalu
mengulurkan tangannya dan disambut oleh Heri.
“Boleh aku duduk di sebelahmu, Nay?”
Nayla menoleh kesebelahnya, lalu mengaggukkan
kepala tanda persetujuannya. Suasana sunyi, mereka diam cukup lama. Dengan
aktivitasnya masing-masing, Nayla dengan laptopnya, sedangkan Heri dengan buku
bacaannya.
Semenjak hari itu, mereka sering
bertemu di taman itu. Mereka menjadi akrab. Mereka masing-masing menceritakan
aktivitas masing-masing. Heri yang seorang dokter menceritakan, kalau setiap
hari bertemu dengan pasien-pasiennya yang unik. Sedangkan Nayla menceritakan
dirinya yang seorang mahasiswi, yang aktivitasnya hanya datang kuliah lalu
pulang, mengerjakan tugas dan esoknya kembali ke kampus lagi. Dan malam minggu
mengunjungi Taman itu. Heri bertanya ke Nayla “Nay, Kenapa setiap malam minggu
kamu ke taman ini? Sedang mencari inspirasi atau sedang menunggu seseorang?”
Entah kenapa tanpa ragu Nayla
menceritakan ke Heri alasannya, kenapa setiap malam minggu ia ke taman.
“Aku menunggu seseorang, Her. Aku
takut ketika ia datang ke taman ini, tapi tidak ada aku. Bisa-bisa ia akan
kecewa.”
“Kamu yakin, ia akan kembali?”
“Ia sudah berjanji dan ia memintaku
untuk percaya kepadanya.”
“Boleh aku tau namanya siapa?”
“Dion.”
“Beruntung
sekali Dion, ditunggu oleh wanita yang baik sepertimu.”
Nayla menatap Heri sesaat, lalu
kembali pada laptopnya. Mengulum senyum. Tiba-tiba Heri menggenggam tangan
Nayla yang sibuk menekan tuts di laptopnya. Dibawa tangan Nayla ke pangkuannya.
Nayla memandang Heri bingung, tapi tetap membiarkan tangannya digenggam oleh
Heri. “ Nay, kelak kalau kau lelah menunggunya, datanglah padaku karena tanpa
kau sadari, dirimu telah mengisi hatiku.” Heri menyatakan isi hatinya.
Nayla kaget mendengar ucapan Heri.
Ia menarik tangannya dari genggaman hari. Lalu beranjak pergi dari bangku taman
itu. Sebelum pergi Nayla berkata dengan tegas “Sampai kapan pun, aku akan
menunggunya.” Heri tertegun melihat kemarahan Nayla, sorot mata yang berbeda.
Tapi Heri tak menyesal akan ucapannya tadi. Ia sungguh-sungguh
***
Sudah sebulan mereka tidak saling
menyapa. Hanya kebisuan yang menghinggapi mereka. Walaupun mereka tak
pernah absent untuk tidak ke taman itu. Tapi kini mereka seperti orang asing.
Dan keadaan itu membuat Heri begitu kesal.
“Nay, kamu
masih marah?” Tanya Heri memulai percakapannya.
Tak ada
jawaban. Nayla masih sibuk dengan laptopnya.
“Nay, aku minta maaf kalau membuatmu kecewa. Jujur aku
tak bermaksud seperti itu, hanya saja aku benar-benar mencintaimu. Aku juga
minta maaf karena telah
mencintaimu.
Mungkin saat ini kamu benar-benar muak melihatku. Mungkin untuk beberapa hari
kedepan aku tak akan datang ke taman ini untuk menemuimu. Tapi asal kau tau,
aku sunguh-sungguh ucapanku beberapa waktu lalu. Datanlah padaku ketika kau lelah.
Aku pergi, sampai jumpa.”
Heri pergi
meninggalkan Nayla, tapi Nayla masih saja diam tak bergeming. Bahkan untuk
mengucapkan sampai jumpa pun tak dilakukan Nayla. Beberapa saat ditinggal Heri,
runtuhlah pertahanan Nayla yang sejak tadi menahan air matanya agar tidak
tumpah. “Aku lelah, aku sangat lelah Dion. Apa kau tau itu? Beberapa waktu lalu
aku memang membencinya, benci akan ucapannya. Tapi kini, aku benar-benar
membutuhkannya atau mungkin aku mulai mencintainya. Apa aku salah Dion?” Nayla
berkata seolah-olah adan Dion dihadapannya.
Sudah dua
minggu Nayla tak datang mengunjungi taman. Dan kini ia datang, duduk dibangku
taman yang sama. Ia menatap bulan dan bintang yang bersinar terang. “Dion, maaf,
aku tak bias menunggumu terlalu lama lagi. Kini yang aku inginkan adalah Heri
bersamaku. Maaf, bukannya aku tak mempercayaimu tapi aku yang tak sabar
menunggumu.” Nayla berucap dengan wajahnya yang menghadap ke bulan dan bintang
itu. Setelah Nayla mengatakan itu, ia beranjak dari tempat itu.
***
Nayla mengunjungi
rumah sakit tempat Heri bertugas. Ia bertanya kepada resepsionis keberadaan
Heri, tapi ternyata Heri sudah membuka klinik baru di dekat rumahnya seminggu
yang lalu. Nayla bertanya alamat lengkap Heri ke resepsionis. Setelah
mendapatkan alamatnya Nayla segera mengunjungi rumah Heri.
Nayla berdiri
mematung di depan pagar rumah berwarna hitam yang tak terlalu tinggi. Ia
memantapkan hatinya, lalu menekan bel yang berada di tembok pagar. Tak lama
kemudian seorang wanita paruh baya datang dari dalam rumah.
“Maaf, mencari
siapa?” Tanya wanita itu di balik pagar.
“Saya Nayla,
apa Heri ada di rumah, bu?”
Wanita itu
lalu membukakan pintu pagarnya dan menyuruh Nayla untuk masuk.
Nayla duduk di
sofa ruang tamu yang cukup besar. Nayla mengedarkan pandangannya, memperhatikan
setiap sisi di ruang tamu tersebut. Ruangan itu cukup besar karena prabot
ruangan itu tidak terlalu banyak hanya sofa panjang yang merapat pada tembok
lalu dihadapannya ada meja, dan disebrangnya ada sofa lagi. Di tembok ruangan
itu pun hanya ada jam dinding.
“Silahkan
minum dulu!” tiba-tiba ibu yang membukakan pitu Nayla datang dengan membawa
secangkir minuman. Lalu duduk di sofa yang berada di seberang Nayla.
“Terima Kasih
bu. Maaf kalo boleh saya tau, ibu siapa Heri ya?” Nayla bertanya.
“Saya ibunya Heri.” Jawab wanita itu ramah.
“Oooh, lalu Herinya mana ya bu?” Nayla bertanya,
dengan matanya seperti sedang mencari sesuatu. Lalu kembali melihat ibu Heri.
Nayla bingung, karena melihat raut wajah sang ibu, berubah menjadi sedih. “Maaf
bu, ada apa ya, kok terlihat sedih?”
Tanya Nayla hati-hati.
“Heri, sudah meniggal dua hari yang lalu. Ia
tertabrak mobil dan meninggal di tempat.”
“Me..ning..gal.” Nayla meyakinkan sang ibu. Dan
sang ibu hanya mengangguk yang terdengar suara isak tangis sang ibu. Nayla
kaget, hatinya seperti tertimpa batu besar. Hanya bisa diam, lalu pergi
meninggalkan rumah itu. Nayla menuju taman dan duduk di bangku taman membiarkan
tangisnya pecah. Berita yang begitu menyesakkan hati, Nayla hanya bisa
menangis.
“Bukankah ini masih siang? Seingatku kita
tak pernah ke tempat ini siang hari.”
Dengan keadaan
yang masih terisak-isak, Nayla menoleh ke sebelah kirinya yang ia kira kosong
ternyata ada seseorang di sana.
Lalu berkata lirih “Dion.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar