JellyPages.com

Senin, 11 Februari 2013

CERPEN : NAYLA



NAYLA

Oleh : Nur Aini Janah


            Taman kota yang disediakan pemerintah seakan memfasilitasi pemuda-pemudi untuk bermadu kasih. Taman ini selalu ramai disetiap malam minggunya. Dengan lampu taman yang menerangi setiap sudut dan sisi jalan.
            “Sekarang taman ini terlihat lebih ramai ya?” ucap Dion, seolah ingin mencairkan suasana. Sudah hampir satu jam mereka duduk di taman ini. Antara Nayla dan Dion tidak ada yang saling berbicara. Mereka sibuk dengan pikiran mereka sendiri.
            “Kok diam?” Dion kembali bertanya.
            “Apa kau benar-benar akan pergi? Kenapa? Kau kan tau, aku tak bisa melakukan hubungan jarak jauh.” Nayla mulai bicara dengan suara parau.
            Dion menggenggam tangan Nayla, lalu menarik Nayla kedalam pelukannya. “Maaf, bisakah kau menungguku hingga aku kembali? Aku harus pergi, aku berjanji aku akan kembali. Percayalah!”
Baca Selengkapnya....

***
Sudah empat bulan Dion meninggalkan Nayla. Tanpa kabar, nomor hpnya tak aktif, email yang Nayla kirimkan pun tak pernah dibalasnya. Dion menghilang tanpa meninggalkan jejak. Ketika mereka berpisah pun, Dion tak memberitahukan kemana ia akan pergi. Dion hanya berjanji, kalau ia akan kembali.
Selama empat bulan itu pun, Nayla tak pernah absent untuk mengujungi taman itu. Taman itu tak pernah berubah, selalu sama. Selalu ramai disetiap malam minggunya. Bahkan  lebih ramai lagi.
“Jadi, setiap malam minggu kamu ke taman itu untuk nunggu Dion, Nay?” Tanya Anggi heran, suatu hari di kantin kampus. Anggi sahabat baik Nayla sejak SMA, heran dengan sikap Nayla semenjak ditinggal Dion. Begitu murung dan selalu menyendiri. “iya.” jawab Nayla sekenanya. Setelah menghabiskan jus jeruknya, Nayla beranjak dari bangku kantin, menignggalkan Anggi sendiri. Yang ditinggalkan hanya menggeleng-gelengkan kepala.
Kembali Nayla mengunjungi taman itu, dibangku yang sama. Tempat yang selalu mereka duduki setiap mereka berkunjung ke taman itu. Nayla mengingat kembali alasan kenapa mereka selalu duduk dibangku ini. “ Dion, kok kita selalu duduk dibangku ini, apa spesialnya?” tanya Nayla. “Kau lihat itu, dari tempat ini kita dapat melihat jelas bulan dan bintang yang selalu terang itu.” Dion menunjuk ke langit. Mata Nayla mengikuti tangan Dion. “Ah kau benar” decak kagum Nayla.
Tak terasa air mata Nayla jatuh membasahi pipinya, mengingat kejadian itu. Lalu ia melihat ke langit, lalu berkata lirih “Kau tau Dion, malam ini bulan dan bintang tak terlihat. Langit terlihat mendung. Apa di tempat kau sekarang, kau dapat melihat bulan dan bintang yang selalu terang itu?”
***
“Hai, kenalin aku Heri.” Seseorang memperkenalkan dirinya kepada Nayla. Nayla terlihat kaget. “Eh, maaf aku ngagetin kamu ya?” ucap Heri. Nayla hanya diam, ia memandangi Heri dari ujung rambut sampai ujung kaki. Heri dengan kemeja yang

lengannya digulung sampai siku, dengan celana bahan dan sepatu pantopel. Wajahnya berbentuk oval, berbadan tinggi, rambut pendek dibelah pinggir. Kalau dilihat-lihat mirip Evan Sanders. “Hello!” Heri berkata, sambil memetikkan jarinya di depan wajah Nayla. Membuat Nayla, sadar dari lamunannya.
“e e e, ma..af. A..a..ku Nay..la!” Nayla berucap dengan terbata-bata, lalu mengulurkan tangannya dan disambut oleh Heri.
“Boleh aku duduk di sebelahmu, Nay?”
Nayla menoleh kesebelahnya, lalu mengaggukkan kepala tanda persetujuannya. Suasana sunyi, mereka diam cukup lama. Dengan aktivitasnya masing-masing, Nayla dengan laptopnya, sedangkan Heri dengan buku bacaannya.
Semenjak hari itu, mereka sering bertemu di taman itu. Mereka menjadi akrab. Mereka masing-masing menceritakan aktivitas masing-masing. Heri yang seorang dokter menceritakan, kalau setiap hari bertemu dengan pasien-pasiennya yang unik. Sedangkan Nayla menceritakan dirinya yang seorang mahasiswi, yang aktivitasnya hanya datang kuliah lalu pulang, mengerjakan tugas dan esoknya kembali ke kampus lagi. Dan malam minggu mengunjungi Taman itu. Heri bertanya ke Nayla “Nay, Kenapa setiap malam minggu kamu ke taman ini? Sedang mencari inspirasi atau sedang menunggu seseorang?”
Entah kenapa tanpa ragu Nayla menceritakan ke Heri alasannya, kenapa setiap malam minggu ia ke taman.
“Aku menunggu seseorang, Her. Aku takut ketika ia datang ke taman ini, tapi tidak ada aku. Bisa-bisa ia akan kecewa.”
“Kamu yakin, ia akan kembali?”
“Ia sudah berjanji dan ia memintaku untuk percaya kepadanya.”
“Boleh aku tau namanya siapa?”
“Dion.”
“Beruntung sekali Dion, ditunggu oleh wanita yang baik sepertimu.”
Nayla menatap Heri sesaat, lalu kembali pada laptopnya. Mengulum senyum. Tiba-tiba Heri menggenggam tangan Nayla yang sibuk menekan tuts di laptopnya. Dibawa tangan Nayla ke pangkuannya. Nayla memandang Heri bingung, tapi tetap membiarkan tangannya digenggam oleh Heri. “ Nay, kelak kalau kau lelah menunggunya, datanglah padaku karena tanpa kau sadari, dirimu telah mengisi hatiku.” Heri menyatakan isi hatinya.
Nayla kaget mendengar ucapan Heri. Ia menarik tangannya dari genggaman hari. Lalu beranjak pergi dari bangku taman itu. Sebelum pergi Nayla berkata dengan tegas “Sampai kapan pun, aku akan menunggunya.” Heri tertegun melihat kemarahan Nayla, sorot mata yang berbeda. Tapi Heri tak menyesal akan ucapannya tadi. Ia sungguh-sungguh

***
Sudah sebulan mereka tidak saling menyapa. Hanya kebisuan yang menghinggapi mereka. Walaupun mereka tak pernah absent untuk tidak ke taman itu. Tapi kini mereka seperti orang asing. Dan keadaan itu membuat Heri begitu kesal.
“Nay, kamu masih marah?” Tanya Heri memulai percakapannya.
Tak ada jawaban. Nayla masih sibuk dengan laptopnya.
“Nay, aku minta maaf kalau membuatmu kecewa. Jujur aku tak bermaksud seperti itu, hanya saja aku benar-benar mencintaimu. Aku juga minta maaf karena telah

mencintaimu. Mungkin saat ini kamu benar-benar muak melihatku. Mungkin untuk beberapa hari kedepan aku tak akan datang ke taman ini untuk menemuimu. Tapi asal kau tau, aku sunguh-sungguh ucapanku beberapa waktu lalu. Datanlah padaku ketika kau lelah. Aku pergi, sampai jumpa.”
Heri pergi meninggalkan Nayla, tapi Nayla masih saja diam tak bergeming. Bahkan untuk mengucapkan sampai jumpa pun tak dilakukan Nayla. Beberapa saat ditinggal Heri, runtuhlah pertahanan Nayla yang sejak tadi menahan air matanya agar tidak tumpah. “Aku lelah, aku sangat lelah Dion. Apa kau tau itu? Beberapa waktu lalu aku memang membencinya, benci akan ucapannya. Tapi kini, aku benar-benar membutuhkannya atau mungkin aku mulai mencintainya. Apa aku salah Dion?” Nayla berkata seolah-olah adan Dion dihadapannya.
Sudah dua minggu Nayla tak datang mengunjungi taman. Dan kini ia datang, duduk dibangku taman yang sama. Ia menatap bulan dan bintang yang bersinar terang. “Dion, maaf, aku tak bias menunggumu terlalu lama lagi. Kini yang aku inginkan adalah Heri bersamaku. Maaf, bukannya aku tak mempercayaimu tapi aku yang tak sabar menunggumu.” Nayla berucap dengan wajahnya yang menghadap ke bulan dan bintang itu. Setelah Nayla mengatakan itu, ia beranjak dari tempat itu.

***
Nayla mengunjungi rumah sakit tempat Heri bertugas. Ia bertanya kepada resepsionis keberadaan Heri, tapi ternyata Heri sudah membuka klinik baru di dekat rumahnya seminggu yang lalu. Nayla bertanya alamat lengkap Heri ke resepsionis. Setelah mendapatkan alamatnya Nayla segera mengunjungi rumah Heri.
Nayla berdiri mematung di depan pagar rumah berwarna hitam yang tak terlalu tinggi. Ia memantapkan hatinya, lalu menekan bel yang berada di tembok pagar. Tak lama kemudian seorang wanita paruh baya datang dari dalam rumah.
“Maaf, mencari siapa?” Tanya wanita itu di balik pagar.
“Saya Nayla, apa Heri ada di rumah, bu?”
Wanita itu lalu membukakan pintu pagarnya dan menyuruh Nayla untuk masuk.
Nayla duduk di sofa ruang tamu yang cukup besar. Nayla mengedarkan pandangannya, memperhatikan setiap sisi di ruang tamu tersebut. Ruangan itu cukup besar karena prabot ruangan itu tidak terlalu banyak hanya sofa panjang yang merapat pada tembok lalu dihadapannya ada meja, dan disebrangnya ada sofa lagi. Di tembok ruangan itu pun hanya ada jam dinding.
“Silahkan minum dulu!” tiba-tiba ibu yang membukakan pitu Nayla datang dengan membawa secangkir minuman. Lalu duduk di sofa yang berada di seberang Nayla.
“Terima Kasih bu. Maaf kalo boleh saya tau, ibu siapa Heri ya?” Nayla bertanya.
“Saya ibunya Heri.” Jawab wanita itu ramah.
“Oooh, lalu Herinya mana ya bu?” Nayla bertanya, dengan matanya seperti sedang mencari sesuatu. Lalu kembali melihat ibu Heri. Nayla bingung, karena melihat raut wajah sang ibu, berubah menjadi sedih. “Maaf bu,  ada apa ya, kok terlihat sedih?” Tanya Nayla hati-hati.
“Heri, sudah meniggal dua hari yang lalu. Ia tertabrak mobil dan meninggal di tempat.”

“Me..ning..gal.” Nayla meyakinkan sang ibu. Dan sang ibu hanya mengangguk yang terdengar suara isak tangis sang ibu. Nayla kaget, hatinya seperti tertimpa batu besar. Hanya bisa diam, lalu pergi meninggalkan rumah itu. Nayla menuju taman dan duduk di bangku taman membiarkan tangisnya pecah. Berita yang begitu menyesakkan hati, Nayla hanya bisa menangis.
“Bukankah ini masih siang? Seingatku kita tak pernah ke tempat ini siang hari.”
Dengan keadaan yang masih terisak-isak, Nayla menoleh ke sebelah kirinya yang ia kira kosong ternyata ada seseorang di sana. Lalu berkata lirih “Dion.”

 

Tidak ada komentar: